Berawal
saat suatu sore, sehabis janji dengan nasabah (karena aku adalah seorang
insurance agent) aku dan teman satu kantorku, seorang gadis dengan pembawaan
yang humoris, polos dan ceria, sebut saja Bebi, memutuskan untuk sekedar nongkrong
sekalian ngemil di salah satu restoran pasta di pusat kota.
Setelah
memesan beberapa menu ringan seperti all pepperoni dan garlic bread,
iseng-iseng aku buka instagram di handphone. Tiba-tiba aja si Bebi nyeletuk
“lagi
apa teh? Lagi stalking mantan ya?” tanyanya sambil cengar cengir.
Sepersekian
detik aku Cuma bengong. Stalking mantan ? problematika zaman sekarang, saat
kita buka sosmed, orang terdekat kita pasti berfikir kalau kita mau stalking
kehidupan mantan kita. Selalu seperti itu. Garis bawahi oke ?
“Nggak
kok, lagi liat news aja di IG, males banget stalking mantan,” jawabku saat itu.
Bebi masih senyum-senyum nggak jelas menanggapi jawabanku.
“Lagian
mantan yang mana coba yang mau di stalking ? ngga ada yang penting, nggak
pengen tahu juga kehidupan mereka kayak apa sekarang,” lanjutku lagi, Bebi
masih mesem-mesem. Seolah apa yang aku katakan tidak datang dari hatiku. Hei,
dia fikir aku bohong ! What the..
“Yakin
teteh udah Move on?” Bebi balik bertanya.
“Yakin,”
jawabku sepenuh hati.
“Sama
yang itu lho teh, yang orang batak,”
Satu
nama sensitif. Tanpa bisa disadari tubuhku bereaksi secara spontan.
“Sama
yang itu juga udah kok. Kan sekarang ada yang baru,” jelas aku mencoba
mengalihkan topik pembicaraan yang awkward ini.
Tapi
rupanya Bebi tidak terpengaruh, dengan semangat 45, bahkan setelah semua
pesanan kami tersedia, gadis yang masih berusia 19 tahun itu terus-terusan
membahas aku-yang-gagal-move-on-dari-orang-batak.
Dan
mau tidak mau aku mulai ikut terpengaruh untuk berfikir.
Apa
memang aku sudah move on ?
“Kalo
emang teteh udah move on, masa iya sampe sekarang masih aja jomblo ? sama si
Anu juga teteh emang pacaran ? kan engga, Cuma deket”
Iya
sih. Setelah jadian singkat sama si Al**, yang kebetulannya orang batak, dan kebetulan
lagi mantan aku saat SMA, aku ngga pacaran lagi.
Saat
deket sama yang sekarangpun, aku ngga pacaran. Komitmen kami jelas, hubungan
ini hubungan serius, malu sama umur kalo pacaran. Tapi apa bener salah satu
alesan lainnya adalah karena aku gagal move on ?
Move
on.
Sebuah
istilah yang sangat booming, terutama di kalangan anak muda saat ini.
Move
on adalah berpindah.
Pindah
hati, dari mantan, pada figur yang baru.
Aku
fikir aku sudah Move on, tapi kembali bimbang saat Bebi dengan polosnya menggodaku.
Sudah
Move onkah ?
Aku
rasa sudah
Dengan
seseorang yang baru saat ini kami memang memutuskan untuk tidak pacaran. Karena
memang untuk menghindari dosa yang rentan terjadi saat dua orang berstatus
pacaran, juga karena kami sama-sama orang yang punya mimpi besar dan sedang
berjuang untuk mengejar mimpi kami. Dia sibuk dengan segala usahanya. Dan aku
sibuk dengan usahaku, branding, marketing, produksi, kualitas produk dan hal
lainnya. Aku tidak ingin terikat agar saat kami berpisah karena bukan jodoh tidak
ada lagi yang akan tersakiti. Tidak sepeti sebelumnya. Oke, contohnya Ko wahyu
(Makasih
yah udah ijinin namanya di publish terus di setiap tulisan aku hihi) perpisahan
kami, tentunya karena aku yang mulai, tentu saja sangat menyakiti ko wahyu.
Apalagi karena alasan orang lain. Orang ketiga.
Dan
lagi, aku lebih nyaman dengan hubungan seperti ini. Tidak terikat dan bebas.
Bebas dalam arti, tidak ada ikatan emosi, tanggung jawab dan keharusan untuk
memperhatikan terus-menerus setiap saat.
Walaupun
jarang bertemu. Tapi aku nyaman dengan kebersamaan kami. Aku menunggu janjinya
untuk menghalalkanku secepatnya, aku menikmati masa-masa dimana ada seseorang
yang bisa menjadi beberapa peran langsung untukku.
Dan
atas dasar itu aku bisa bilang kalau aku sudah move on dari cinta lamaku.
Yah,
walau kadang masih saja penasaran saat menemukan namanya di timeline twitter,
terkadang tergoda untuk visit ke akun pathnya. Tapi hanya itu. Bukan
stalking-stalking semacam penasaran dia sama siapa sekarang, seperti apa kondisinya sekarang. Bukan, bukan seperti
itu.
Aku
selalu percaya baiknya Takdir. Indahnya rencana Tuhan, tentu aku tak bisa
menutup mata akan hal itu. Sebesar apapun aku berharap pada seorang manusia,
kalau Tuhan menunjukan bukan dia orangnya. Aku bisa apa?
Apalagi
kita memanggil nama Tuhan dengan panggilan yang berbeda. Berdoa dengan cara
yang berbeda,memiliki Rumah Tuhan yang berbeda. Tidak cukupkah Tuhan menunjukan
bukan dia orangnya?
Sakit,
ya tentu saja. Tapi life must go on.
Yang
terpenting, aku percaya kalau suatu hubungan yang diawali dengan penghianatan
pasti akan diakhiri dengan pengkhianatan juga. Seseuatu yang diawali dengan
tidak baik, pasti akan memiliki akhir yang buruk juga. Aku yakin itu.
Ko,
kalau ko wahyu baca Lovelife-nya aku yang ini. Beribu maaf aku ucapin. Aku yang
tau sakitnya dikhianatin, kok bisa-bisanya melakukan hal sehina itu ke koko ?
koko yang baik, yang ngerti, yang soleh cukup kok, takdir sudah membawaku pada
pelajaran paling berharga dalam hidup. Janji dan tanggung jawab yang akan
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan saat kita meninggal nanti.